JMDN logo

Kemerdekaan RI dan Semangat Meneruskan Jiwa Saling Peduli

📍 Nasional
14 Agustus 2025
68 views
Kemerdekaan RI dan Semangat Meneruskan Jiwa Saling Peduli

Bondowoso, 14/8 (ANTARA) - Semasa hidupnya, Mbah Ji selalu menampakkan wajah semangat dan gembira setiap menyambut perayaan ulang tahun kemerdekaan RI, pada 17 Agustus.


Lelaki sepuh yang merupakan veteran pejuang kemerdekaan Indonesia itu tidak pernah bosan mengingatkan siapa saja di lingkungan tempat tinggalnya untuk memasang bendera Merah Putih di depan rumah.


Bahkan, ia mengistilahkan perayaan kemerdekaan RI ini sebagai "lebaran" nasional yang harus disambut gembira oleh seluruh masyarakat Indonesia. Ia ingin memastikan semangat nasionalisme tetap menggelora di jiwa generasi masa kini.


Kini, Mbah Ji sudah tiada, namun semangatnya untuk memeriahkan peringatan kemerdekaan tetap dilestarikan oleh warga di lingkungan lelaki pejuang itu pernah tinggal tetap terjaga. Umbul-umbul dan bendera Merah Putih di depan rumah dan tepi jalan selalu tampil meriah, yang dikerjakan secara gotong royong, dengan dana swadaya warga.


Jika ditilik secara substansi, tidak berlebihan jika Mbah Ji mengistilahkan hari kemerdekaan sebagai lebaran. Selama ini, kata lebaran seolah menjadi bahasa agama untuk pengganti frasa Hari Raya Idul Fitri.


Kata lebaran berasal dari Bahasa Jawa, yakni dari kata lebar. Lebar memiliki arti lapang atau luas. Karena itu, makna lebaran terkait dengan kontes keindonesiaan berarti jiwa kita lapang menerima atau memaknai kemerdekaan sebagai kesyukuran atas karunia dari Tuhan. Karunia yang diterima itu dengan perjuangan, mengorbankan darah dan nyawa.


Kemerdekaan bangsa Indonesia bukan merupakan hadiah dari penjajah atau tiba-tiba turun dari langit. Ada perjuangan, yang bahkan melampaui kondisi nyata dari kekuatan bangsa kita, saat melawan penjajah.


Kala itu, senjata canggih dari penjajah, berupaya pistol dan meriam dari kaum penjajah dihadapi dengan senjata tradisional seadanya, termasuk bambu runcing dari para pejuang.


Ketidakseimbangan persenjataan ini bukan sekadar berisi pesan kenekadan leluhur kita melawan bangsa lain. Lebih dari itu, leluhur kita juga mengajarkan serta mewariskan semangat pantang menyerah dan optimisme menghadapi keadaan apapun, bahkan yang secara logika tidak mungkin bisa dihadapi.


Optimisme dan semangat tidak mudah menyerah pada keadaan itu merupakan modal primordial dari naionalisme bangsa Indonesia yang harus kita pelihara dan terus digali lewat momentum "lebaran nasional" ini.


Dalam skala terbatas, semangat dan optimisme dapat kita temukan wujudnya pada kemeriahan di setiap perayaan kemerdekaan atau Agustusan di seluruh penjuru Nusantara ini.


Untuk memeriahkan peringatan HUT RI, semua warga rela bergotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal, termasuk menghias dengan umbul-umbul dan lampu warna-warni, tanpa memperhitungkan berapa dana yang harus dikeluarkan.


Jiwa kepedulian terhadap sesama dan ringan tangan ini, seharusnya bisa kita duplikasi pada konteks kekinian yang tentu memiliki dampak lebih besar untuk memupuk jiwa nasionalisme dan memupuk ketangguhan bangsa besar dalam menghadapi masa depan.


Jika pendidikan menjadi modal dasar untuk kemajuan bangsa, maka siapapun dan berprofesi apapun, kita bisa mengambil peran dengan semangat nasionalisme ini dalam laku gotong royong.


Peran ini bisa kita ambil dalam langkah kecil, misalnya kita membantu anak muda dari kalangan ekonomi menengah ke bawah untuk bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.


Setiap kita bisa mengambil peran dengan membantu biaya pendidikan mereka. Kalau tidak mampu membantu biaya keseluruhan, kita bisa membantu sebagian, seperti hanya uang biaya indekos setiap bulan, atau membelikan kebutuhan buku pada mereka. Bisa juga menanggung biaya uang kuliah tunggal (UKT).


Bantuan sangat bermakna yang tidak memerlukan biaya besar untuk anak-anak dari kalangan tidak mampu ini bisa berupa suntikan semangat dan informasi untuk mendapatkan beasiswa bagi generasi muda potensial itu, sehingga mereka tetap dapat menempuh pendidikan tinggi, meskipun ekonomi orang tuanya tidak mampu.


Kita juga bisa mengambil peran paling sederhana, namun bermakna besar, setidaknya dengan menyampaikan informasi kepada anak-anak muda bahwa saat ini banyak peluang beasiswa yang bisa mereka manfaatkan, terutama untuk anak-anak dari keluarga miskin. Atau kita bisa menjadi penghubung si anak dari keluarga miskin itu dengan seseorang yang mampu membiayai.


Peran ini sangat penting jika dilakukan oleh para guru yang lebih banyak mengetahui potensi masing-masing siswanya.


Kalau ada beberapa pemerintah daerah memiliki program "satu keluarga satu sarjana" dengan bantuan dana, maka kita bisa mendukung lewat kepedulian terhadap lingkungan sekitar.


Kalau satu keluarga dapat membantu satu anak, terutama dari kalangan tidak mampu, hingga menjadi sarjana, maka inilah wujud nyata dari mewarisi dan meneruskan spirit nasionalisme para pejuang di masa lalu saat mereka berperang mengusir penjajah.


Selain membantu memberikan jalan sukses kepada generasi muda, saling peduli dan membantu untuk menempuh pendidikan tinggi itu, secara tidak langsung, juga menjadi sarana mewariskan jiwa saling peduli untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.


Anak-anak yang telah lulus menjadi sarjana dan sukses keluar dari lingkaran kemiskinan itu tentu akan sangat mudah untuk diajak menjadi "agen" lanjut dari semangat membantu orang lain.


Anak-anak dari kalangan tidak mampu yang kemudian sukses berkat bantuan dari orang lain, bisa dipastikan telah manjadi pribadi "carrier" yang siap menularkan "virus" kepedulian itu pada sesama. Anak muda itu hampir pasti akan teringat dengan perjalanan hidup di masa lalu yang jika tidak ada sosok peduli membantunya, dia tidak akan menjadi apa-apa, dan tetap mewarisi kemiskinan orang tuanya.


Bagi kita yang secara kebutuhan dasar sudah tercukupi, apalah arti hidup berkecukupan, tapi hanya memikirkan anak-anaknya sendiri untuk mengenyam pendidikan tinggi dan kemudian sukses, jika tidak peduli pada generasi muda sekitarnya yang memiliki potensi besar, namun terhalang oleh tidak adanya biaya.


Demikian juga dengan guru, aparat negara, apalagi pejabat, termasuk pengusaha, meskipun tergolong pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), dapat mengambil peran saling membantu ini, meskipun hanya untuk satu orang anak yang potensial, setiap tahunnya.


Peran ini bisa juga dilakukan dengan cara patungan, misalnya dua keluarga berkolaborasi untuk membantu satu orang anak. Inilah wujud nyata nasionalisme yang dapat mengantarkan bangsa kita menuju Generasi Emas 2045. (ANTARA/Masuki M. Astro)

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer